Diary of Alfarabi, Married Life

[Married Life] : Tentang Menerima

Bicara soal penerimaan sepertinya bukan hal yang mudah ya, karena sering kali erat kaitannya dengan kekurangan seseorang atau suatu hal.

Tetapi bukan berarti menerima kelebihan bisa menjadi sesuatu yang tanpa celah, keduanya punya jalan yang sama untuk menyusuri relung hati yang terdalam.

You don’t need someone to complete you.

You only need someone to accept you completely

– Unknown –

Sejujurnya waktu pertama kali baca quote di atas, sepersekian detik hati saya langsung mengiyakan, tapi ternyata otak memerintah untuk coba memikirkan ulang.

Logika yang berbicara, meski akhirnya yang unggul adalah rasa.

Melengkapi pasangan sama sekali bukan hal yang sederhana, menerima dia seutuhnya pun perlu banyak usaha.

Asal mau sama-sama mencoba.

Menurut saya, menerima itu semua persoalan hati, meski logika kadang ikut serta menghakimi.

Banyak hal yang ternyata Tuhan kabulkan dari doa-doa saya yang tak sempat terucap, kadang saat seperti ini saya jadi kembali tersadar betapa kuasanya tangan Tuhan.

Sejak dulu saya enggak pernah suka main game, menonton pertandingan sepak bola, dan melihat apalagi mendekati perokok.

Rasanya buat tertarik aja susah, apalagi mencoba buat ikut-ikutan, sepertinya enggak bakal masuk deh!

Tanpa disangka, dulu teman dekat saya salah satu captain tim futsal di sekolah. Kerjaannya kalau gak latihan ya nonton bola atau ikut tournament sana-sini.

Kalau ngobrol soal kesukaan sering nggak nyambung, kalau banyak wanita lain minta diajak ikut latihan atau nonton pertandingan saya sama sekali nggak minat.

Gimana ya, pengetahuan saya tentang sepak bola juga nol besar !

Selain itu, saya selalu bosan nonton pertandingan saling mengoper bola dengan selang gol yang lama, meskipun pemain bola kadang gantengnya nggak ada obat ya, hahaha.

Buat saya nggak ada hal yang bikin tertarik dari sepak bola, udah itu aja. Saya nggak pernah melarang, tapi buat bergabung di dalamnya kayanya nggak deh, mending saya baca buku sambil tidur-tiduran di rumah.

Alhamdulillah, tanpa harus menerima seseorang yang punya ketertarikan yang berbeda, akhirnya Tuhan kasih jalan kalau dia bukan jodoh saya 😂.

Contoh lain soal main game. Dari kecil saya memang nggak suka main game consoles, entah kenapa.

Permainannya ngbak bisa dimainkan secara langsung alias dipegang atau disentuh, jadi saya sama sekali nggak tertarik (bahkan sampai sekarang) dan alasan lainnya adalah saya kalah terus kalau main jadi bukannya makin usaha buat nyoba, saya malah makin sebel karena nggak kunjung bisa.

Saya nggak pernah membayangkan harus “mendampingi” pasangan bermain game berjam-jam tanpa peduli ada kita disebelahnya, hahaha.

Untuk itu saya bersyukur, Tuhan nggak pernah mendekatkan saya dengan gamers.

Karena ya ampun kok terasa berat ya harus menerima pasangan berkutat seharian dengan game di hari libur, sementara aku haus akan kasih sayang 😂

Dan yang terakhir soal perokok. Nggak ada satu alasan apapun yang bikin saya setuju kalau rokok itu baik.

Nggak peduli saya dihujani berbagai kata debat soal rokok bisa menenangkan pikiran, relaksasi, atau apapun pembenaran mereka.

Saya mending pergi sambil tutup mata dan telinga deh daripada ikut diskusi soal “manfaat” rokok.

Karena jiwa dan raga menolak kehadiran rokok di kehidupan saya yang damai ini, cukuplah yang berpolusi udara di Jakarta aja, paru-paru saya gak usah.

Hati apalagi, cukup kenangan aja yang isinya, nikotin jangan, hahahaha.

Alhamdulillah, saya dikirimkan Tuhan pasangan yang berhenti merokok tepat di hari pernikahan kami.

Berhenti sepenuhnya atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan atau rayuan siapapun, huhu.

Sebelumnya dia merokok tapi nggak pernah dihadapan saya, keluarga, maupun teman-teman. Entah lah dia merorok dimana, ku sungguh tak peduli…

Dari ketiga contoh di atas, saya bersyukur sekali Tuhan kasih jalan yang mulus atas segala hal yang buat saya cukup sulit untuk ditolerir keberadaanya, apalagi untuk diterima sebagai bagian kehidupan.

Lantas, hal-hal apa yang saya coba terima dan akan terus melekat di sepanjang hidup?

  • Dominan dan Egoisme
  • Karakter bawaan
  • Perbedaan pendapat
  • Kritikan pedas yang (sebenarnya) membangun
  • Level kebersihan tinggi
  • Hobi pasangan
  • Me time dan teman-teman

Ini sekelumit “ujian” yang Tuhan kasih di pasangan saya, rasanya susah-susah gampang beradaptasi dengan hal-hal di atas.

Mungkin begitu juga yang dirasakan suami saya, sejujurnya memang nggak mudah menerima hal yang tidak biasa ada di hidup kita.

Tetapi, harus sampai kapan kita menunggu orang yang 100% sesuai dengan apa yang kita mau, yang seluruhnya cocok dengan selera kita, yang kesemuanya sama seperti yang kita harapkan, entah kapan?!

Buat saya, semua perbedaan yang ada di diri kita maupun pasangan memang tak mudah untuk diterima.

Butuh waktu untuk mencerna dan perlahan akan melebur bersama kehidupan kita.

Berat memang.

Untuk itu, jauh sebelum menikah pastikan kita tahu hal-hal apa saja yang bisa kita terima, hal-hal yang masih masuk batas toleransi dan tidak merusak prinsip hidup kita.

Karena setelah menikah, jangan harap pasanganmu berubah. Mereka akan tetap sama. Mereka akan berubah saat diri mereka sendiri menghendakinya, bukan karena orang lain.

Notes :

Menemukan tulisan ini di-draft blog, sepertinya dulu masig maju mundur mau di-publish. Lebih khawatir dihakimi netizen daripada lega karena berani berpendapat, hihi.

Akhirnya, tulisan ini di-post juga.

Dan saya terbuka sekali dengan pendapat lain, kalau ada cerita lain tentang kebiasaan pasangan yang rasanya sulit diterima atau padangan lagi tentang penerimaan boleh komen di bawah ya atau kunjungi Instagram @syifarahmi_ untuk ngobrol-ngobrol di sana.

Terima kasih sudah membaca !

Leave a comment