Diary of Alfarabi, Self Reminder

[Self Reminder] : Mereka Bukan Kita

Forgiveness is the highest form of a gift of kindness and it brings freedom from the prison of hatred and revenge.

Debasish Mridha

Suami saya sering sekali bilang kalau saya lebih pantas hidup di negeri dongeng daripada di dunia.

Awalnya saya pikir itu hanya gurauan, nyatanya menjadi sering kali diucapkan, tidak hanya saat sedang bercanda tetapi ketika diskusi panjang berdua.

Kemudian saya diam, menelaah apa yang salah dari hidup saya. Dan apa yang salah?

Saya seringkali menganggap orang lain sama seperti saya.

Dan itu sama sekali tidak benar.

Saya seringkali memberi banyak kepercayaan untuk orang lain, yang berujung kecewa.

Saya seringkali memberi banyak cinta, tetapi berakhir terluka.

Saya sering kali duduk termenung, mengapa ada orang yang bisa berbuat seperti itu, padahal kita sudah berbuat baik padanya.

Ya, karena mereka bukan kita.

Terkadang kita sangat tulus memberi, tanpa mengharap balasan.

Terkadang kita sangat tulus berbagi, padahal mereka tak peduli.

Lagi-lagi karena mereka bukan kita.

šŸ’•

Bukan berarti tidak pernah ada orang yang benar-benar tulus dalam hidup, itu pun tidak mungkin.

Masih ada jutaan jiwa yang terlahir dengan hati yang baik, hanya saja kita belum berkesempatan untuk bertemu.

Kadang, saat saya dikecewakan. Saya menjadi larut dalam amarah, menjadi sedih yang terlalu dalam.

Lantas saya bisa apa selain bercerita?

Saya sepenuhnya minta dibela.

Tapi apa karena saya kecewa, saya bisa serta merta membalas perlakuannya?

Tidak bisa.

šŸ’•

Suami saya, meski bukan sepenuhnya penyabar tapi dia bisa menenangkan.

Menyejukkan suasana, bukan memberi angin agar nyala amarah terus membara.

Dia yang meski suka emosi, tapi masih bisa berpikir jernih untuk saling memberi solusi.

Mengajak relaksasi, mendinginkan kepala.

Dan mengajak untuk bisa mengikhlaskan, memaafkan apa yang orang lain lakukan untuk kita.

Meski tidak pernah mudah.

Meski menyesikan sesak di dada.

Tapi hati tidak lagi bergejolak penuh amarah.

šŸ’•

Seringkali saat marah kita ingin membalas, mencoba membagi mereka rasa sakit.

Tapi untuk apa?

Untuk memenangkan ego sesaat?

Untuk terlihat lebih superior?

Untuk apa?

Membalas rasa sakit hati tidak pernah dapat menyembuhkan luka, hanya akan melahirkan lebih banyak kebencian.

Akan lebih banyak menularkan amarah.
Disitulah titik temunya…

Karena kita bukan mereka.

Kita sama sekali bukan mereka.

Kita punya tabiat yang berbeda.

Tidak ingin menyakiti, tidak ingin saling melukai.

Kita berbeda.

Jauh lebih baik… percayalah.

šŸ’•

Mencoba mengikhlaskan dan memaafkan adalah hal tersulit dari menebar kebaikan.

Membuang berbagai alasan kebencian.

Kadang kita terlalu lama, terlalu dalam atas sebuah masalah.

Tidak hanya memendam, tapi menyimpan rapi persoalan.

Dan akan coba membangkitkan saat sedang tersulut oleh keadaan.

Dan karena kita bukan mereka, segera maafkan.

Meski terlalu sulit untuk dilupakan.

šŸ’•

Mereka memang bukan kita.

Kita tidak bisa mengharap orang lain setulus kita.

Kadang yang mereka berikan hanya tawaran semata.

Basa-basi sesama manusia.

Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam lubuk hati mereka, benar-benar ingin berbagi suka atau sebaliknya?

ā€”

Notes :

Lagi-lagi ini tulisan lama, entah tahun berapa. Sampai ku lupa sendiri, alasan kenapa hanya tersimpan di-draft dan tak pernah di-publish.

Semoga tulisan ini bisa jadi ajang saling mengingatkan serta bisa membawa manfaat.

Terima kasih sudah membaca ya !

Leave a comment